Sabtu, 20 April 2013

Benarkah Kartini seorang Penganut Kebatinan? (bag.1 Seri Sosok Kartini)


Tanggal 21 April yang oleh orang-orang Indonesia diperingati sebagai hari Kartini. Namun ada sebagian yang setelah membaca berbagai artikel dan ulasan tentang kartini yang dilakukan oleh sebagian aktivis, malah mereka langsung bersikap antipati terhadap beliau. Namun, apakah benar yang dikatakan berbagai media. Seorang yang berpikiran materialis, yahudi, orientalis, dan kebatinan? Seorang pejuang 
kesetaraan GENDER kah? Atau seorang muslimah?

Dalam menyikapi perbedaan sudut pandang semacam ini, hendaknya kita bersikap adil/obyektif dalam menilai sesuatu. Manusia bukan syetan yang selalu salah, dan juga bukan malaikat yang selalu benar. Begitu pula R. A. Kartini. Sebelum kita membedah sosok Ibu Kartini yang sebenarnya, mari kita kupas berbagai teori tentang sosok Kartini yang tersebar di berbagai Media. 

1. Kartini adalah sosok Penganut Kebatinan

Teori pertama adalah teori yang menilai sosok Kartini sebagai seorang penganut kebatinan. Penganut ajaran kebatinan menganggap bahwa tuhan yang hakiki adalah tuhan yang sama berada dibalik berbagai ajaran agama. Mereka menganggap bahwa agama-agama di dunia ini menuntun pada satu entitas tuhan yang sama. Karena itu tidak heran aliran ini berkembang menjadi pluralisme agama. Ajaran kebatinan sebenarnya bukan hanya datang dari satu wilayah. Tapi merupakan warisan budaya leluhur yang diadaptasi menjadi teori modern yang terus berkembang hingga menjadi pluralisme. Bila di barat ajaran kebatinan sangat erat kaitannya dengan Gerakan Theosofi (Theosophy) maka di Jawa ada juga yang namanya Kejawen. Teori tentang kebatinan dan pluralisme R. A Kartini ini sering dilontarkan media terutama ketika mereka menilai surat-surat beliau antara lain:

”Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri. Orang-orang seibu-sebapak ancam-mengancam berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Esa, dan Tuhan Yang Sama.” (Surat Kartini kepada Stella Zehandelaar, 6 November 1899)
”Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali silaturrahmi antara semua makhluk Allah, berkulit putih atau coklat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau laki-laki, kepercayan, semuanya kita ini anak Bapak yang seorang itu, Tuhan yang Maha Esa!” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
”Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni. ” (Surat kepada Ny. Abendanon, 14 Desember 1902)
”Ketahuilah nyonya, bahwa saya anak Budha, dan itu sudah menjadi alasan untuk pantang makan daging. Waktu kecil saya sakit keras; para dokter tidak dapat menolong kami; mereka putus asa. Datanglah seorang Cina (orang hukuman) yang bersahabat denan kami, anak-anak. Dia menawarkan diri menolong saya. Orang tua kami menerimanya, dan saya sembuh. Apa yang tidak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar, barhasil dengan “obat tukang jamu”. Ia menyembuhkan saya dengan menyuruh saya minim abu lidi sesaji kepada patung kecil dewa Cina. Karena minuman itulah saya menjadi anak leluhur suci Cina itu, yaitu Santik Kong dari Welahan.” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)
”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan, adalah bunyi tanpa makna…” (Surat Kartini kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).
”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain” (Surat kepada Ny. Van Kol, 31 Januari 1903)
”Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” (Surat kepada E. C Abendanon, 31 Januari 1903)
”Ia tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa, Tuhannya, Tuhan kita. Tuhan kita semua.” (Surat Kepada H. H Van Kol 10 Agustus 1902)
”Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tapi kesemuanya itu menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan dan kami sendiri menyebutnya Allah.” (Surat Kartini kepada N. Adriani, 24 September 1902)
”Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Theosofi.” (Surat Kartini kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902).
Hari berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi, yang bersedia memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar banyak yang membuat kami berpikir.” (Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 15 September 1902).
”Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.” (Surat Kartini kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902)
”Kebaikan dan Tuhan adalah satu.” (Surat Kartini kepada Ny Nellie Van Kol, 20 Agustus 1902)
Sampai disini, kita akan paham bagaimana sebagian aktivis Islam menilai Kartini dari sisi kebatinannya. Pembahasan tentang teori-teori lain dan analisa tentang pemikiran beliau akan dilanjutkan pada artikel bagian kedua dan seterusnya, Insya Allah.


0 komentar:

Posting Komentar